Alkisah, seorang raja yang bijak berhasil membangun negerinya menjadi makmur dan damai. Sayang, ia kemudian tenggelam dalam kesibukan membangun negerinya. Akibatnya, raja tidak sempat memperhatikan putera mahkota. Maka, permaisurilah yang diberi tanggung jawab mendidiknya. Karena sang pangeran adalah anak tunggal, permaisuri jadi memanjakannya. Maka, pangeran tumbuh menjadi pemuda yang sombong, egois, tidak punya sopan-santun, dan malas belajar. Raja menjadi sedih memikirkan sikap puteranya. “Bagaimana nasib negeri ini nantinya?” Bisik sang raja dalam hati.
Akhirnya, setelah berbincang-bincang dengan permaisuri, raja memanggil pangeran. “Anakku, tahta kerajaan akan Ayah serahkan kepadamu, tetapi dengan syarat. Engkau harus tinggal dan belajar selama satu tahun di Kuil Bukit Kebijaksanaan bersama seorang guru yang telah ayah pilihkan. Bila engkau gagal, maka tahta kerajaan akan Ayah serahkan kepada orang lain.”
Mendengar perintah ayahandanya, pangeran kaget dan heran. Tetapi ia tak bisa membantah dan harus menyanggupi persyaratan ayahnya. “Apakah artinya penderitaan satu tahun disbanding kalau aku kelak sudah menjadi raja? Aku akan hidu mewah dan bersenang-senang seumur hidupku,” batin sang pangeran. Maka, berangkatlah sang pangeran menuju Kuil Bukit Kebijaksanaan.
Setibanya di kuil dan menemui sang guru, pangeran langsung berulah. Ia menunjukkan sikap yang sombong, menyebalkan, dan sangat tidak sopan. Kalau sang guru bertanya, pangeran menjawab sekehendak hatinya. Saat sang guru menerangkan pelajaran, pangeran tidak mau mendengarkan malah sibuk bermain-main. Ia benar-benar bertingkah semaunya dan tidak mau hormat sedikit pun kepada gurunya. Ia merasa, sebagai putera mahkota, semua orang harus menuruti kemauannya.
Hari demi hari berlalu. Namun, kelakuan pangeran tetap tidak berubah. Sombong, sok pintar, dan tidak mau menyerap sedikit pun ilmu yang diberikan. Sang guru pun berpikir keras bagaimana mengajari pangeran supaya tepat pada sasaran. Suatu hari, ia mengajak pangeran minum teh bersama. Setelah menyeduh teh panas dan pangeran duduk di depannya, sang guru menuangkan teh ke cangkir pangeran. Air the panas itu dituang terus-menerus hingga tumpah ke mana-mana. Sebagian tumpahan itu mengenai tangan sang pangeran.
Pangeran kepanasan. Ia meloncat sambil marah-marah. “Hai, guru bodoh! Menuang teh saja tidak becus, bagaimana kanu akan mengajarkan ilmu kepadaku? Mengapa cangkir sudah penuh masih dituangi teh terus?” Umpat sang pangeran.
Dengan senyum lembut, sang guru berujar. “Yang Mulia, beruntung hanya tangan yang terkena percikan teh panas. Sebagai calon raja, dan akan menjadi suri tauladan rakyat nantinya, tidak sepantasnya Tuanku berkata tidak sopan seperti tadi. Lebih-lebih kepada guru Tuan sendiri…”
Pangeran memandang gurunya dengan tajam. Sang guru bergeming, dan kemudian melanjutkan penjelasannya. “Tuanku, hamba sengaja menuang terus air teh sekalipun cangkir sudah penuh. Cangkir teh itu sama seperti otak manusia. Bila otak telah penuh, maka tidak mungkin diisi lagi, bukan? Sebab itu, jika ingin belajar, kosongkan dulu “cangkir” Tuan, maka pikirkan Tuan baru bisa diisi hal-hal baru yang lebih positif. Mohon maaf Tuanku, hanya bekal ini yang dapat hamba berikan. Bila tidak berkenan, silakan pergi dari sini kuil ini.”
Pembaca yang budiman,
Karena keturunan, status, jabatan, kekayaan, gelar pendidikan, kadang seseorang merasa lebih terhormat, lebih tinggi derajat, lebih berkuasa, atau lebih tahu segalanya. Itu membuat dia merendahkan dan tidak mau mengakui keberadaan orang lain. Sikap seperti ini membuat pikiran seseorang tertutup rapat sehingga sulit menerima pendapat orang lain, sulit menerima hal-hal baru, dan tidak bisa menerima fakta yang berlawanan dengan kemauannya. Ini jelas akan merugikan diri sendiri!
Sikap sombong dan tinggi hati, sesungguhnya hanya akan menciptakan “daya tarik” datangnya bencana, permusuhan, dan ketelodoran yang kita buat sendiri, adalah sebuah kegagalan yang paling menyakitkan dalam kehidupan ini.
Karenanya, alangkah indah jika kita selalu bersikap rendah hati. Laksana padi, makin berisi makin merunduk. Sikap ini membuat kita lebih open minded, siap menerima hal-hal baru, mau menerima kritikan, dan siap menerima kenyataan, walau tidak sesuai dengan kemauan. Saya yakin dan telah membuktikan sendiri, dengan sikap rendah hati, kita dapat memetik banyak keuntungan. Kita akan bertambah teman, relasi, wawasan, dan pengetahuan yang akhirnya juga melahirkan gagasan dan peluang untuk mengembangkan potensi diri dan meraih kesuksesan.
“Sikap ‘Open minded’ dan rendah hati akan membuat kita bertambah teman, relasi, wawasan, dan pengetahuan sehingga kesemuanya itu menjadi kekuatan pendorong untuk mengembangkan potensi diri guna meraih kesuksesan.”
Akhirnya, setelah berbincang-bincang dengan permaisuri, raja memanggil pangeran. “Anakku, tahta kerajaan akan Ayah serahkan kepadamu, tetapi dengan syarat. Engkau harus tinggal dan belajar selama satu tahun di Kuil Bukit Kebijaksanaan bersama seorang guru yang telah ayah pilihkan. Bila engkau gagal, maka tahta kerajaan akan Ayah serahkan kepada orang lain.”
Mendengar perintah ayahandanya, pangeran kaget dan heran. Tetapi ia tak bisa membantah dan harus menyanggupi persyaratan ayahnya. “Apakah artinya penderitaan satu tahun disbanding kalau aku kelak sudah menjadi raja? Aku akan hidu mewah dan bersenang-senang seumur hidupku,” batin sang pangeran. Maka, berangkatlah sang pangeran menuju Kuil Bukit Kebijaksanaan.
Setibanya di kuil dan menemui sang guru, pangeran langsung berulah. Ia menunjukkan sikap yang sombong, menyebalkan, dan sangat tidak sopan. Kalau sang guru bertanya, pangeran menjawab sekehendak hatinya. Saat sang guru menerangkan pelajaran, pangeran tidak mau mendengarkan malah sibuk bermain-main. Ia benar-benar bertingkah semaunya dan tidak mau hormat sedikit pun kepada gurunya. Ia merasa, sebagai putera mahkota, semua orang harus menuruti kemauannya.
Hari demi hari berlalu. Namun, kelakuan pangeran tetap tidak berubah. Sombong, sok pintar, dan tidak mau menyerap sedikit pun ilmu yang diberikan. Sang guru pun berpikir keras bagaimana mengajari pangeran supaya tepat pada sasaran. Suatu hari, ia mengajak pangeran minum teh bersama. Setelah menyeduh teh panas dan pangeran duduk di depannya, sang guru menuangkan teh ke cangkir pangeran. Air the panas itu dituang terus-menerus hingga tumpah ke mana-mana. Sebagian tumpahan itu mengenai tangan sang pangeran.
Pangeran kepanasan. Ia meloncat sambil marah-marah. “Hai, guru bodoh! Menuang teh saja tidak becus, bagaimana kanu akan mengajarkan ilmu kepadaku? Mengapa cangkir sudah penuh masih dituangi teh terus?” Umpat sang pangeran.
Dengan senyum lembut, sang guru berujar. “Yang Mulia, beruntung hanya tangan yang terkena percikan teh panas. Sebagai calon raja, dan akan menjadi suri tauladan rakyat nantinya, tidak sepantasnya Tuanku berkata tidak sopan seperti tadi. Lebih-lebih kepada guru Tuan sendiri…”
Pangeran memandang gurunya dengan tajam. Sang guru bergeming, dan kemudian melanjutkan penjelasannya. “Tuanku, hamba sengaja menuang terus air teh sekalipun cangkir sudah penuh. Cangkir teh itu sama seperti otak manusia. Bila otak telah penuh, maka tidak mungkin diisi lagi, bukan? Sebab itu, jika ingin belajar, kosongkan dulu “cangkir” Tuan, maka pikirkan Tuan baru bisa diisi hal-hal baru yang lebih positif. Mohon maaf Tuanku, hanya bekal ini yang dapat hamba berikan. Bila tidak berkenan, silakan pergi dari sini kuil ini.”
Pembaca yang budiman,
Karena keturunan, status, jabatan, kekayaan, gelar pendidikan, kadang seseorang merasa lebih terhormat, lebih tinggi derajat, lebih berkuasa, atau lebih tahu segalanya. Itu membuat dia merendahkan dan tidak mau mengakui keberadaan orang lain. Sikap seperti ini membuat pikiran seseorang tertutup rapat sehingga sulit menerima pendapat orang lain, sulit menerima hal-hal baru, dan tidak bisa menerima fakta yang berlawanan dengan kemauannya. Ini jelas akan merugikan diri sendiri!
Sikap sombong dan tinggi hati, sesungguhnya hanya akan menciptakan “daya tarik” datangnya bencana, permusuhan, dan ketelodoran yang kita buat sendiri, adalah sebuah kegagalan yang paling menyakitkan dalam kehidupan ini.
Karenanya, alangkah indah jika kita selalu bersikap rendah hati. Laksana padi, makin berisi makin merunduk. Sikap ini membuat kita lebih open minded, siap menerima hal-hal baru, mau menerima kritikan, dan siap menerima kenyataan, walau tidak sesuai dengan kemauan. Saya yakin dan telah membuktikan sendiri, dengan sikap rendah hati, kita dapat memetik banyak keuntungan. Kita akan bertambah teman, relasi, wawasan, dan pengetahuan yang akhirnya juga melahirkan gagasan dan peluang untuk mengembangkan potensi diri dan meraih kesuksesan.
“Sikap ‘Open minded’ dan rendah hati akan membuat kita bertambah teman, relasi, wawasan, dan pengetahuan sehingga kesemuanya itu menjadi kekuatan pendorong untuk mengembangkan potensi diri guna meraih kesuksesan.”
0 komentar:
Posting Komentar