Alkisah, ada seorang pemuda dari keluarga miskin yang rumah tinggalnya sering berpindah-pindah,karena hanya bisa menyewa. Dalam hidup, keinginan terbesarnya adalah memiliki rumah sendiri. Karena itu, saat menikah, dia memaksa diri untuk memberi rumah dengan cicilan selama 20 tahun. Akibatnya, dengan gajinya dengan relatif kecil, ia harus mengatus pengeluarannya sedemikian rupa sehemat mungkin agar kebutuhan hidup bersama keluarganya tetap bisa tercukupi.
Maka,sejak saat itu, hidup keluarga pemuda itu terpola dengan sangat hemat, irit, dan tanpa keleluasaan sedikitpun untuk bersantai. Si suami sangat ketat mengatur segala sesuatu agar cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari keluarga itu dilingkupi suasana tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam pengeluaran uang.
Waktupun berjalan terus. Pada suatu ketika, ibu pemuda tadi menyatakan keinginan kepada anaknya,”Anakku, keinginan ibu sebelum meninggal adalah kita bisa berjalan-jalan ke daerah yang ibu sukai. Ibu mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk menambahkan kekurangannya?”
“Sabar Bu,jangan sekarang. Bukankah kita harus berhemat, irit, mengatur sedetail mungkin pengeluaran kita agar bisa tetap membayar cicilan rumah?”jawab si pemuda berkali-kali setiap di tanya sang ibu.
Begitulah saking ketatnya mengatur pengeluaran, saat si istri mengajak pergi keluar untuk sekedar bersantai pun, tak pernah di gubris pemuda itu. Bahkan hanya sekedar makan keluar ke restaurant bersama keluarga pun, selalu di jawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja,yakni harus berhemat untuk membayar cicilan rumah. Alasan ini juga berlaku untuk anaknya. Saat si anak merengek minta uang jajan atau dibelikan mainan, dengan tegas si pemuda menolak semua keinginan anaknya.
Istri dan keluarganya akhirnya mulai tertekan dan jenuh dengan keadaan seperti itu. Hari-hari pun berlalu dengan stress dan monoton. Tak ada lagi nuansa kebahagiaan yang menyelimuti keluarga itu.
Tanpa terasa, 20 tahun kemudian cicilan rumah telah selesai dan rumah telah sepenuhnya menjadi milik pemuda tadi. Namun, ketika rumah itu benar-benar telah menjadi miliknya, ternyata ia tidak bahagia, bahkan merasa telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga. Saat itu, rumah yang ditempati hanyalah sebentuk bangunan, tanpa ada apa-apa lagi di dalamnya, tanpa kehangatan dan tanpa kebahagiaan. Si pemuda tinggal seorang diri di situ. Istrinya telah pergi meninggalkan dia, dengan hak asuh anak di pihak istrinya. Rupanya karena tak tahan, mereka akhirnya bercerai. Ibu pemuda itupun sudah meninggal dunia beberapa tahun silam tanpa pernah terkabul permintaan terakhirnya.
Kini, hidup terasa hampa, dingin, dan kosong. Laki-laki itu tidak mengerti, kenapa saat tujuan hidup yang diagungkan tercapai, yakni ketika sertifikat rumah ada di tangannya, justru cinta, kehangatan, dan kebahagiaan pergi meninggalkannya begitu saja.
Pembaca yang berbahagia.
Kekayaan materi sering kali di pandang sebagai standar kesuksesan. Namun kenyataannya, tidak sedikit orang kaya materi tidak bahagia kehidupannya, tidak ada cinta dan kehangatan di dalam rumah mewah yang dimilikinya. Sebaliknya banyak orang yang tidak berkelimpahan harta tetapi bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia bersama dengan seluruh keluarganya.
Cita-cita menghasilkan kekayaan yang berlimpah adalah sah-sah saja. Namun, apa artinya semua materi yang kita dapatkan, jika kita harus kehilangan kebahagiaan dari orang yang kita cintai seperti cerita tadi?
Apalagi untuk mengejar semua keinginan itu lahir dari perasaan iri atau tidak mau kalah dengan orang lain, sehingga akan memunculkan pemaksaan di luar kemampuan kita, yang pada akhirnya membuat kita menderita.
Maka, jangan paksakan sesuatu yang tidak pantas dipaksakan, kalau hanya penyesalan dan penderitaan yang akan kita akan alami.
Tetap berjuang dan bekerja keras mewujudkan impian kita! Namun gunakan cara positif dan pola pikir yang benar serta seimbang, agar hidup bisa lebih bermakna bersama dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai.
“Perlu pola pikir yang benar, realistis, dan seimbang dalam menentukan impian yang akan kita raih. Buat apa kita memaksakan sesuatu yang tidak perlu dipaksa jika hanya penyesalan yang akan kita terima di kemudian hari?”
Maka,sejak saat itu, hidup keluarga pemuda itu terpola dengan sangat hemat, irit, dan tanpa keleluasaan sedikitpun untuk bersantai. Si suami sangat ketat mengatur segala sesuatu agar cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari keluarga itu dilingkupi suasana tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam pengeluaran uang.
Waktupun berjalan terus. Pada suatu ketika, ibu pemuda tadi menyatakan keinginan kepada anaknya,”Anakku, keinginan ibu sebelum meninggal adalah kita bisa berjalan-jalan ke daerah yang ibu sukai. Ibu mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk menambahkan kekurangannya?”
“Sabar Bu,jangan sekarang. Bukankah kita harus berhemat, irit, mengatur sedetail mungkin pengeluaran kita agar bisa tetap membayar cicilan rumah?”jawab si pemuda berkali-kali setiap di tanya sang ibu.
Begitulah saking ketatnya mengatur pengeluaran, saat si istri mengajak pergi keluar untuk sekedar bersantai pun, tak pernah di gubris pemuda itu. Bahkan hanya sekedar makan keluar ke restaurant bersama keluarga pun, selalu di jawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja,yakni harus berhemat untuk membayar cicilan rumah. Alasan ini juga berlaku untuk anaknya. Saat si anak merengek minta uang jajan atau dibelikan mainan, dengan tegas si pemuda menolak semua keinginan anaknya.
Istri dan keluarganya akhirnya mulai tertekan dan jenuh dengan keadaan seperti itu. Hari-hari pun berlalu dengan stress dan monoton. Tak ada lagi nuansa kebahagiaan yang menyelimuti keluarga itu.
Tanpa terasa, 20 tahun kemudian cicilan rumah telah selesai dan rumah telah sepenuhnya menjadi milik pemuda tadi. Namun, ketika rumah itu benar-benar telah menjadi miliknya, ternyata ia tidak bahagia, bahkan merasa telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga. Saat itu, rumah yang ditempati hanyalah sebentuk bangunan, tanpa ada apa-apa lagi di dalamnya, tanpa kehangatan dan tanpa kebahagiaan. Si pemuda tinggal seorang diri di situ. Istrinya telah pergi meninggalkan dia, dengan hak asuh anak di pihak istrinya. Rupanya karena tak tahan, mereka akhirnya bercerai. Ibu pemuda itupun sudah meninggal dunia beberapa tahun silam tanpa pernah terkabul permintaan terakhirnya.
Kini, hidup terasa hampa, dingin, dan kosong. Laki-laki itu tidak mengerti, kenapa saat tujuan hidup yang diagungkan tercapai, yakni ketika sertifikat rumah ada di tangannya, justru cinta, kehangatan, dan kebahagiaan pergi meninggalkannya begitu saja.
Pembaca yang berbahagia.
Kekayaan materi sering kali di pandang sebagai standar kesuksesan. Namun kenyataannya, tidak sedikit orang kaya materi tidak bahagia kehidupannya, tidak ada cinta dan kehangatan di dalam rumah mewah yang dimilikinya. Sebaliknya banyak orang yang tidak berkelimpahan harta tetapi bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia bersama dengan seluruh keluarganya.
Cita-cita menghasilkan kekayaan yang berlimpah adalah sah-sah saja. Namun, apa artinya semua materi yang kita dapatkan, jika kita harus kehilangan kebahagiaan dari orang yang kita cintai seperti cerita tadi?
Apalagi untuk mengejar semua keinginan itu lahir dari perasaan iri atau tidak mau kalah dengan orang lain, sehingga akan memunculkan pemaksaan di luar kemampuan kita, yang pada akhirnya membuat kita menderita.
Maka, jangan paksakan sesuatu yang tidak pantas dipaksakan, kalau hanya penyesalan dan penderitaan yang akan kita akan alami.
Tetap berjuang dan bekerja keras mewujudkan impian kita! Namun gunakan cara positif dan pola pikir yang benar serta seimbang, agar hidup bisa lebih bermakna bersama dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai.
“Perlu pola pikir yang benar, realistis, dan seimbang dalam menentukan impian yang akan kita raih. Buat apa kita memaksakan sesuatu yang tidak perlu dipaksa jika hanya penyesalan yang akan kita terima di kemudian hari?”
0 komentar:
Posting Komentar